Laman

Tuesday 23 June 2015

tips hidup awet sehat yang perlu dilakukan

 tips hidup awet sehat yang perlu dilakukan


Bagi sebagian orang, utamanya golongan menengah ke bawah, pasti bisa merasakan, bagaimana peliknya hidup di zaman sekarang: Cari uang seperti menangkap asap.

“Boro-boro yang halal, yang haram aja susah!”

Padahal kebutuhan tak pernah henti, terus menerus berdatangan, minta dicukupkan.
Supaya beban jadi berkurang manusia dituntut untuk selalu berusaha, mengolah daya dengan berbagai macam cara. Karenanya pula kondisi kesehatan mestinya bisa tetap dijaga.

Repotnya, belum apa-apa orang sering berpikiran bahwa situasi ini sangat sulit didapatkan lantaran terbentur biaya yang mahal. Logikanya, untuk bisa tetap sehat manusia mesti mengonsumsi makanan serta beragam suplemen yang hebat, dan itu berarti mesti ada uang yang banyak.

Walau tidak sepenuhnya salah, namun sebetulnya bukan lantaran itu saja tubuh seseorang bisa senantiasa prima. Fakta membuktikan, betapa banyak orang yang senantiasa hidup berkecukupan, tak pernah mengalami kurang gizi atau apalagi kelaparan namun tetap saja dirongrong penyakit gawat.

Lantaran itu, daripada terus menerus kukulutus (menggerutu) sementara masalah yang dihadapi tak pernah pupus, sambil tekun berusaha, berikut tips hidup awet sehat yang perlu di lakukan dan dicoba keampuhannya.;

Tetap Optimis.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)

Meminjam pernyataan Noam Chomsky, Eep Saefulloh Fatah, analis politik dari UI, menulis, “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.”

Catatan hasil sebuah survey longitudinal pada para lulusan harvard yang dipelopori George Vaillant, M.D., psikiatris di Dartmouth Medical School, menunjukkan, tatkala respondennya menginjak usia paruh baya, mereka yang optimis cenderung terlihat lebih mampu mempertahankan kemudaannya, sementara yang pesimis lebih cepat dijambangi penyakit jantung, tekanan darah tinggi dan kanker.

Fakta lain, hasil kajian pada 100 korban serangan jantung di San Francisco Hospital, mendapati, penderita yang optimis lebih sedikit menderita serangan kedua, disamping mampu bertahan hidup lebih lama : dari 16 yang optimis, 11 orang telah hidup selama 8 tahun sejak serangan pertama. Sedangkan dari 16 yang pesimis, hanya 1 orang yang mampu bertahan hidup.

Melalui kajian panjang, lika-liku ihwal bagaimana ini terjadi terjelaskan. Adanya komunikasi timbal balik antara sistem imun, endokrin dan sistem saraf, merupakan penyebabnya. Pikiran yang senantiasa optimis akan mendorong sistem saraf, melalui sel neuroendokrin, untuk menggelontorkan hormon endorfin kedalam aliran darah. Endorfin selanjutnya akan menggenjot aktivitas beberapa sel sistem imun dan membantu sel lain melawan substansi berbahaya dalam tubuh dengan lebih agresif. Halmana selanjutnya akan membuat manusia lebih tahan terhadap serangan bibit penyakit.

Memaafkan.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Imran: 133-134)

Kata maaf berasal dari kata al-‘afw yang berarti “keterhapusan”. Memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati, baik diminta maupun tidak.

Dari hasil kajiannya, Fred Luskin, psikolog dari Standford University dan penulis Forgive for Good, menyatakan, jika memelihara “luka” dan memendam dendam dapat menurunkan derajat kesehatan, baik dari sisi fisik maupun mental, memaafkan bisa merupakan pencegah sakit yang ampuh (antidote).

Studi yang dilaksanakan Charlotte van Oyen Witvliet, asisten profesor psikologi pada Hope College di Holland, Michigan, dan koleganya, pada 71 relawan, dengan memberinya tugas mengingat suatu kejadian di masa lampau yang membuat mereka terluka, terekam adanya indikasi kenaikan tekanan darah, denyut jantung, dan menegangnya otot-otot – respon yang sama terjadi manakala orang marah. Sedang ketika diminta untuk membayangkan empati, sikap tenang dan penuh maaf, ternyata jiwanya dapat lebih tenang.

Tanda-tanda lain yang memberi harapan bahwa memaafkan mampu memperbaiki derajat kesehatan terlihat pula dari hasil survey pada 1423 orang dewasa yang dilakukan the University of Michigan’s Institute for Social Research, tahun 2001. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain di masa lalunya dilaporkan memiliki status kesehatan lebih baik daripada mereka yang tidak.

Jangan lupa perbanyak Berdoa.

“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian, sedang malaikat-Nya (memohonkan ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” [QS. Al-Ahzâb: 41-43]

Pesan nenek untuk senantiasa berdoa ternyata banyak manfaatnya. Berdoa, yang sering diartikan sebagai berkomunikasi dengan “penguasa tertinggi” di jagat raya, menurut Larry Dossey, dalam Prayer is Good Medicine, merupakan ‘suatu sikap hati’. Sebuah ucapan yang dibarengi dengan kesadaran dan ketulusan, permohonan penuh harapan pada ‘Yang Maha Pengatur dan Pemilik Segalanya’. Dalam kaitan dengan kesehatan, baik fisik, mental maupun spiritual, kegiatan ini, dengan berbagai jalan, ternyata dapat berdampak positif.

Dari hasil survey yang dilakukan oleh Andrew Greeley, seorang sosiolog, pada 657 pasangan / suami istri misalnya, mendapatkan, 75% dari mereka yang rajin berdoa bersama pasangannya, memiliki kehidupan perkawinan yang lebih bahagia serta lebih mesra dibanding 57% diantara pasangan yang tidak suka berdoa bersama. Dari kebahagiaan dan kemesraan itulah, bisa jadi, kekuatan tubuh bermula, hingga penyakit enggan menjambangi.

Catatan lain, sebagaimana ditulis Bassman dalam Mind, Mood & Emotion, menunjukkan juga, bahwa ‘secuplik’ doa dapat digunakan untuk menolong orang dari deraan psychosomatic (suatu gangguan yang disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, dengan gejala fisik seperti nyeri kepala migren, nyeri punggung bawah, atau sindrom usus iritasi), mood (termasuk anxiety, depresi, dan agresi), serta gangguan mental lainnya.

Maka rajin-rajinlah berdoa, dengan tulus, sepenuh hati mengharap perlindungannya.

Salam sehat dan tetap semangat !.

Terima kasih, sudah membaca Artikel tips hidup sehat yang perlu dilakukan.

macam-macam prasangka buruk dan prasangka buruk mana yang di bolehkan

 macam-macam prasangka buruk dan prasangka buruk mana yang di bolehkan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa berburuk sangka kepada orang lain adalah akhlak yang tercela dan dilarang dalam agama. Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (QS. Al-Hujuraat: 12).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث

“jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari-Muslim).

Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan seorang Muslim pada asalnya terjaga dan mulia.

Prasangka buruk yang dibolehkan.

Namun ketahuilah, ada prasangka buruk yang dibolehkan. Syaikh As Sa’di menjelaskan surat Al Hujurat ayat 12 di atas: “Allah Ta’ala melarang sebagian besar prasangka terhadap sesama Mukmin, karena ‘sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa’. Yaitu prasangka yang tidak sesuai dengan fakta dan bukti-bukti” (Taisir Karimirrahman). Maknanya, jika suatu prasangka didasari bukti atau fakta, maka tidak termasuk ‘sebagian prasangka‘ yang dilarang.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengatakan:

فالواجب على المسلم أن لا يسيء الظن بأخيه المسلم إلا بدليل، فلا يجوز له أن يتشكك في أخيه و يسيء به الظن إلا إذا رأى على أمارات تدل على سوء الظن فلا حرج

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah hendaknya tidak berprasangka buruk kepada saudaranya sesama Muslim kecuali dengan bukti. Tidak boleh meragukan kebaikan saudaranya atau berprasangka buruk kepada saudaranya kecuali jika ia melihat pertanda-pertanda yang menguatkan prasangka buruk tersebut, jika demikian maka tidak mengapa.

Beliau juga mengatakan:

فالواجب على كل مسلم، رجل أو امرأة، الواجب الحذر من سوء الظن، إلا بأسباب واضحة، وإلا فالواجب ترك الظن السيئ، لا بالمرأة ولا بالزوج ولا بالأولاد، ولا بأخي الزوج ولا بأبيه، ولا بغير ذلك، الواجب حسن الظن بالله، وحسن الظن بأخيك المسلم، أو بأختك المسلمة، وألا تسيء الظن، إلا بأسباب واضحة توجب التهمة، وإلا فالأصل البراءة والسلامة

“Maka yang menjadi kewajiban seorang Muslim, baik lelaki atau perempuan, wajib untuk menjauhi prasangka buruk. Kecuali ada sebab-sebab yang jelas (yang menunjukkan keburukan tersebut). Jika tidak ada, maka wajib meninggalkan prasangka buruk. Tidak boleh berprasangka buruk kepada istri, kepada suami, kepada anak, kepada saudara suami, kepada ayahnya atau kepada saudara Muslim yang lain. Dan wajib berprasangka baik kepada Allah, serta kepada sesama saudara dan saudari semuslim. Kecuali jika ada sebab-sebab yang jelas yang membuktikan tuduhannya. Jika tidak ada, maka hukum asalanya adalah bara’ah (tidak ada tuntutan) dan salamah (tidak memiliki kesalahan)” 

Maka prasangka yang didasari oleh bukti-bukti, atau pertanda, atau sebab-sebab yang menguatkan tuduhan itu dibolehkan. Semisal jika kita melihat seorang yang datang ke parkiran motor lalu membuka paksa kunci salah satu motor dengan terburu-buru, kita boleh berprasangka bahwa ia ingin mencuri. Atau kita melihat orang-orang berkumpul di pinggir jalan disertai botol-botol khamr dengan wajah kuyu dan mata sayu, kita boleh berprasangka bahwa mereka sedang mabuk-mabukan. Dan contoh semisalnya.

Macam-macam prasangka buruk.

Jika telah kita pahami penjelasan di atas, ketahuilah bahwa para ulama membagi prasangka buruk atau suuzhan menjadi 4 macam:
Suuzhan yang haram, yaitu suuzhan kepada Allah dan suuzhan kepada sesama Mukmin tanpa bukti atau pertanda yang nyata.
Suuzhan yang dibolehkan, yaitu suuzhan kepada sesama manusia yang memang dikenal penuh keraguan, sering melakukan maksiat. Juga termasuk suuzhan kepada orang kafir. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه؛ لأنه أهل لذلك، وأما من عرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به؛ لأنه أهل لذلك، ومع هذا لا ينبغي للإنسان أن يتتبع عورات الناس، ويبحث عنها؛ لأنَّه قد يكون متجسسًا بهذا العمل

“diharamkan suuzhan kepada sesama Muslim. Adapun kafir, maka tidak haram berprasangka buruk kepada mereka, karena mereka memang ahli keburukan. Adapun orang yang dikenal sering melakukan kefasikan dan maksiat, maka tidak mengapa kita berprasangka buruk kepadanya. Karena mereka memang gandrung dalam hal itu. Walaupun demikian, tidak selayaknya seorang Muslim itu mencari-cari dan menyelidiki keburukan orang lain. Karena sikap demikian kadang termasuk tajassus“.
Suuzhan yang dianjurkan, yaitu suuzhan kepada musuh dalam suatu pertarungan. Abu Hatim Al Busti menyatakan:

من بينه وبينه عداوة أو شحناء في دين أو دنيا، يخاف على نفسه، مكره، فحينئذ يلزمه سوء الظن بمكائده ومكره؛ لئلا يصادفه على غرة بمكره فيهلكه

“orang yang memiliki permusuhan dan pertarungan dengan seseorang dalam masalah agama atau masalah dunia, yang hal tersebut mengancam keselamatan jiwanya, karena makar dari musuhnya. Maka ketika itu dianjurkan berprasangka buruk terhadap tipu daya dan makar musuh. Karena jika tidak, ia akan dikejutkan dengan tipu daya musuhnya sehingga bisa binasa”
Suuzhan yang wajib, yaitu suuzhan yang dibutuhkan dalam rangka kemaslahatan syariat. Seperti suuzhan terhadap perawi hadits yang di-jarh.

Siapa yang diberi udzur?
Dari penjelasan di atas juga kita ketahui bahwa, perkataan salaf semisal:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ مَعَاذِيرَ إِخْوَانِهِ

“Seorang mu’min itu mencari udzur (alasan-alasan baik) terhadap saudaranya”
Tidak berlaku bagi mu’min yang dikenal gemar dengan kemaksiatan atau kefasikan. Adapun Mu’min yang tidak dikenal dengan kemaksiatan dan kefasikan, maka haram dinodai kehormatannya dan haram bersuuzhan kepadanya. Dan inilah hukum asal seorang Mu’min.
Terutama orang-orang Mu’min yang dikenal dengan kebaikan, maka hendaknya mencari lebih banyak alasan untuk berprasangka baik kepadanya. Bahkan, jika ia salah, hendaknya kita maafkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban 94).

dalam riwayat lain:

أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم ، إلا الحدود

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil haiah (orang-orang yang baik namanya), kecuali jika terkena hadd” (HR. Abu Daud 4375, Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah, 638).

Jauhkan diri dari tuduhan dan hal yang bisa menimbulkan prasangka
Jika telah dipahami penjelasan di atas, yaitu boleh berprasangka buruk kepada seseorang jika disertai bukti atau pertanda yang jelas. Maka, konsekuensinya seorang Mukmin hendaknya menjauhkan diri dari hal yang dapat menimbulkan tuduhan dan prasangka. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ

“Tinggalkanlah hal-hal yang membuatmu perlu meminta udzur setelahnya” (HR. Dhiya Al Maqdisi dalam Ahadits Al Mukhtarah, 1/131; Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/504; Ad Dulabi dalam Al Kuna Wal Asma’; Dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 1/689).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

“Siapa yang menjauhkan diri dari syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam syubhat, ia akan terjerumus dalam keharaman. 
Sebagaimana pengembala yang mengembalakan hewannya di dekat perbatasan sampai ia hampir saja melewati batasnya. Ketahuilah batas-batas Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya” (Muttafaqun ‘alaih).

Misalnya, tidak layak seorang Mukmin berada di dekat-dekat tempat perzinaan (walaupun tidak berzina) tanpa ada hajat, tidak layak seorang Mukmin sengaja menenteng botol khamr (walaupun tidak diminum) untuk bercanda atau iseng saja, tidak layak seorang Mukmin berada di restoran makanan haram (walaupun tidak dimakan) tanpa hajat, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan tuduhan lainnya.

Semoga bermanfaat,
Terima kasih, sudah membaca Artikel macam-macam prasangka buruk dan yang di bolehkan.
  

Allah menciptakan manusia di berikan rizki dan tidak membiarkan begitu saja

 Allah menciptakan manusia di berikan rizki dan tidak membiarkan begitu saja

Di dunia ini, Allah Ta’ala telah memberikan dan melimpahkan kita berbagai macam nikmat dan rizki yang tidak terhitung jumlahnya. Allah Ta’ala memelihara kita di dunia ini dengan rizki-Nya, setelah sebelumnya Allah menciptakan kita. Lalu, apakah hal itu Allah lakukan hanya karena “suka-suka” dan “main-main” saja, tidak ada hikmah dan tidak ada tujuan tertentu?

Beriman bahwa Allah adalah Dzat yang Menciptakan manusia.
Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama bahwa Allah Ta’ala menciptakan kita setelah sebelumnya kita tidak ada. Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا

“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan [76]: 1).

Allah Ta’ala juga berfirman,

قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا

“Tuhan berfirman, ‘Demikianlah.’ Tuhan berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku. Dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.’” (QS. Maryam [19]: 9).

Adapun yang menciptakan kita adalah Allah Ta’ala. Hal ini dapat kita ketahui berdasarkan dalil sam’i (dalil berupa wahyu) dan dalil ‘aqli (dalil berupa logika). Berdasarkan dalil sam’i misalnya firman Allah Ta’ala,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

“Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar [39]: 62).

Adapun dalil logika, sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,

أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thuur [52]: 35).

Dalam ayat ini terdapat dalil logika tentang penciptaan manusia. Karena berdasarkan logika kita, adanya manusia dan dunia ini tidak lepas dari tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka ada tanpa adanya pencipta apa pun. Kemungkinan ke dua, mereka menciptakan diri mereka sendiri. Dan kemungkinan yang ke tiga, ada yang menciptakan, Dia–lah Rabb Yang Maha kuasa. Kemungkinan pertama dan ke dua tentu kemungkinan yang tidak benar, sedangkan yang benar adalah kemungkinan ke tiga. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengajak manusia untuk berfikir (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
Beriman bahwa Allah adalah Dzat yang Memberikan Rizki kepada Kita dan Tidak akan Membiarkan Kita Begitu Saja.

Setelah menciptakan kita, maka Allah Ta’ala pun memberikan kepada kita berbagai rizki yang dapat membantu dan memudahkan kehidupan kita di dunia ini. Dan dengan rizki itulah kita dapat mewujudkan tujuan penciptaan kita di dunia ini, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Setelah Allah Ta’ala menciptakan kita, maka ketahuilah bahwa Allah tidaklah lantas membiarkan kita begitu saja. Allah Ta’ala menciptakan dan memberi kita rizki karena hikmah tertentu. Tidaklah Allah Ta’ala menciptakan kita hanya sekedar main-main saja tanpa tujuan. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 115).
Allah Ta’ala juga berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38)

“Apakah manusia mengira, bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya?” (QS. Al-Qiyamah [75]: 36-38).

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir. Maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27).

Ibadah: Hikmah dan Tujuan Penciptaan Manusia.

Allah Ta’ala tidaklah menciptakan kita di dunia ini untuk hidup bersenang-senang saja, sekedar untuk makan-minum, istirahat, foya-foya, dan bergembira, dan setelah itu kita meninggal tanpa ada urusan lagi atau pertanggung-jawaban apa pun. Allah tidaklah menciptakan kita sebagaimana binatang, yang tidak dibebani syariat apa pun, baik berupa perintah maupun larangan. Akan tetapi, Allah Ta’ala menciptakan kita karena hikmah yang sangat agung dan karena tujuan yang sangat mulia, yaitu agar kita beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57)

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku juga tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzaariyat [51]: 56-57).

Kehidupan Dunia, Tempat Berladang dan Bercocok Tanam.

Oleh karena itulah, kehidupan kita di dunia ini hakikatnya bagaikan tempat berladang dan bercocok tanam, yang akan kita petik hasilnya di negeri akhirat kelak. Kita menyiapkan diri kita dengan berbagai amal shalih. Setelah itu kita pun mati, dibangkitkan, dihisab, dan diberi balasan terhadap amal yang telah kita kerjakan.

Sebetulnya, akal kita pun telah menunjukkan hal itu. Karena tentu merupakan hal yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hikmah Allah Ta’ala ketika Dia menciptakan manusia, memberikan mereka berbagai macam rizki, kemudian setelah itu dibiarkan begitu saja, tanpa ada pertanggung-jawaban dan balasan apa pun. Ini adalah perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan untuk memberikan balasan amal-amal manusia di dunia ketika berada di negeri akhirat kelak.

Marilah kita berfikir sejenak, ketika di dunia bisa saja kita melihat seseorang yang sangat bersemangat beribadah kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dia hidup dalam kemiskinan. Di sisi lain, ada seseorang yang sangat dzalim dan sering melanggar hak orang lain, namun tidak mendapatkan balasan (hukuman) apa-apa di dunia.

Ada pula orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya, namun hidupnya mewah dan penuh dengan kesenangan dan kecukupan. Apakah sesuai dengan keadilan dan hikmah Allah Ta’ala, ketika Allah membiarkan hamba-Nya yang taat tanpa ada balasan apa pun dan membiarkan orang kafir tanpa ada hukuman apa pun, kalau setelah kehidupan di dunia tidak ada pertanggung-jawaban? Hal ini bertentangan dengan hikmah Allah Ta’ala sama sekali. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan negeri yang lain, yaitu negeri akhirat, sehingga Allah Ta’ala membalas hamba-Nya yang taat atas ketaatannya dan membalas hamba-Nya yang durhaka atas kedurhakaannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa dunia adalah ladang untuk beramal, sedangkan akhirat adalah negeri balasan, baik surga maupun neraka. Allah Ta’ala tidak akan membiarkan kita begitu saja, sebagaimana sangkaan orang-orang musyrik -yang tidak beriman dengan hari kebangkitan- yang Allah Ta’ala ceritakan dalam firman-Nya,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata,’Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.’ Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 24).

Allah Ta’ala sendiri telah membantah anggapan mereka itu dalam firman-Nya,

أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (35) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (36)

“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama (balasannya) dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam [68]: 35-36)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 21).

Untuk Mewujudkan Tujuan Penciptaan, Diutuslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Agar manusia dapat mewujudkan tujuan penciptaan tersebut –yaitu beribadah kepada-Nya-, maka Allah Ta’ala pun mengutus rasul kepada kita, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ibadah tidaklah didasarkan atas sangkaan baik kita semata atau didasarkan atas ikut-ikutan orang lain. Sehingga Allah Ta’ala pun mengutus rasul untuk menjelaskan kepada kita bagaimana cara beribadah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, di antara hikmah diutusnya rasul adalah untuk menjelaskan bagaimana tatacara beribadah yang benar kepada Allah Ta’ala dan melarang manusia dari perbuatan syirik dan kekafiran.

Di antara dalil yang menunjukkan pengutusan rasul ini adalah firman Allah Ta’ala,

إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16)

“Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai rasul itu, lalu kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (QS. Al-Muzammil [73]: 15-16).

Barangsiapa yang menaati rasul tersebut, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk dan masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepada rasul, maka dia berada dalam kesesatan dan masuk neraka. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Dan jika kamu taat kepadanya (rasul), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nuur [24]: 54).
Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nuur [24]: 56).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى »

“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Rasulullah menjawab,”Barangsiapa yang taat kepadaku, maka masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia adalah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ »

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun dari umatku yang mendengar dakwahku, meskipun seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali dia adalah penghuni neraka.” (HR. Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Karena rasul telah menjelaskan segala hal tentang kewajiban kita kepada Allah Ta’ala di dunia ini, maka tidak boleh ada seorang pun yang mengatakan pada hari kiamat, “Saya tidak tahu bahwa aku diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Saya tidak tahu apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang.” Hal ini karena hal itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan pengutusan rasul, maka tegaklah hujjah Allah Ta’ala kepada manusia. Sehingga tidak ada lagi alasan yang dapat dipakai oleh manusia ketika mereka durhaka kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165).

Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat mewujudkan tujuan penciptaan kita di dunia ini, yaitu beribadah dan taat kepada-Nya, serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. 

Terima kasih, sudah membaca Artikel Allah menciptakan manusia di berikan rizki dan tidak membiarkan begitu saja di blog ini.